Selasa, 01 Mei 2012

Partisipasi Remaja Dalam Pelestarian Budaya

Di era modern seperti sekarang ini sebagian besar kalangan remaja menganggap bahwa kesenian campursari adalah suatu kesenian yang sudah ketinggalan zaman. Bahkan sebagian besar remaja saat ini merasa malu jika mereka menyukai musik campursari, Hanya ada segelintir remaja yang masih suka dan mengoleksi musik campursari ini. Hal itupun dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi.

 Campursari adalah salah satu kesenian daerah yang berasal dari Yogyakarta, atau lebih tepatnya dari daerah Gunungkidul. Campur sari merupakan musik tradisional dengan perangkat alat musik berupa gamelan dan beberapa musik modern seperti keyboard, serta para penabuh gamelan yang biasa disebut wiyaga dan seperangkat penyanyinya yang biasa disebut dengan sinden. Alat musik campursari yang digunakan biasanya kendang, peking, slentem, gong, suling, bonang dan kadangkala ada beberapa alat musik modern lainya seperti keyboard, gitar, dan drum (kadang kala). Secara harafiah campursari artinya campur aduk, campur baur atau gabungan dari beraneka macam dan ragam aliran musik yang lain.

Konon diperkirakan aliran musik campursari ini sudah ada sejak tahun 60-an dengan sebutan Langgam. Langgam dipopulerkan oleh seorang penyanyi langgam Jawa terkenal yaitu Waldjinah. Lalu sesuai perkembangannya langgam akhirnya berubah menjadi musik campursari yang lebih modern. Yang membuat langgam berbeda dengan musik campursari ini adalah dimasukannya alat musik modern yang membuat suasana musik campursari ini lebih hidup. Penyanyi campursari yang merintis pertama kali musik campursari ini adalah Manthou’s pada tahun 1980-an. Pada awal mulanya karir Manthou’s diawali dengan bowo dan sekar.Mathou’s bersama sahabatnya yang bernama Pak Noto memasukkan unsur keyboard dalam orkestrasi gamelannya melalui group campursarinya yang dikenal dengan nama Maju Lancar dengan salah satu lagu perdananya yang populer yang berjudul “Gethuk”(makanan khas Gunungkidul). Namun karena suatu hal Manthou’s meninggalkan sahabatnya Pak Noto dalam karirnya dan merubah nama group orkestrasinya menjadi Campursari Gunungkidul (CSGK). Pada mulanya kesenian musik campursari diciptakan oleh Manthou’s sebagai sarana hiburan musik bagi orang-orang tua yang dari gendhing-gendhingnya yaitu “Sinom Parijoto” dan “Pangkur” sebagai awal permulaan karier Manthou’s pada masanya. Menurut sumber yang saya dapatkan mengenai munculnya aliran-aliran musik campursari yang baru hanya ikut-ikutan menciptakan lagu campursari. Kendati saat ini musik campursari mulai hilang dikarenakan tidak adanya generasi penerus seperti Manthou’s yang mampu berkreasi dan menciptakan suatu nuansa yang baru dalam dunia campursari.

Dilihat dari beberapa album yang diluncurkan oleh Manthou’s, beliau selalu menciptakan suatu revolusi yang baru terhadap setiap album yang dia luncurkan. Bahkan album-album yang diluncurkan oleh Manthou’s sering memunculkan kedaan alam dan realitas sosial yang terjadi di daerah Gunungkidul. Hal itu ditunjukan dalam “Gethuk” dan “Nyidamsari”.

Di era tahun 2000-an munculah aliran musik campursari yang baru yang merupakan campursari gamelan dan kroncong, serta campuran keroncong dan dangdut (congdut) dari Didi Kempot. Kendati muncul pro dan kontra terhadap kemurnian aliran musik ini , namun semua pihak sepakat bahwa musik campursari dapat dikolaborasikan dengan berbagai aliran musik yang lain. Syair-syair lagu yang digunakan dalam lirik musik campursari ini biasanya dekat dengan kehidupan keseharian masyarakat Jawa pada umumnya, seperti Mendhem Wedokan yang syairnya menceritakan seseorang yang sudah ingin cepat menikah namun belum siap lahir dan batin untuk membina keluarga.

Poligami adalah isu yang sangat marak saat ini, namun sebelum rumor ini marak di public, campursari memberikan klaim poligami melalui lagu “Bojo Loro”, hal ini merupakan salah satu daya tarik musik campursari yang yangat lekat dengan penggemarnya. Kebanyakan liryk lagu campursari menggunakan Bahasa Jawa ngoko sehingga lirik lagu campursari mudah dicerna oleh berbagai kalangan yang terbiasa dengan bahasa Jawa Ngoko. Musik campursari dapat mengakumulasi bebagai aliran musik lainya seperti dangdut, kroncong, pop dan sebagainya. Hal itu ditunjukan oleh Manthous dan juga Didi Kempot yang telah mengkolaborasikan Campursari dengan berbagai aliran musik lainya.

Karena bentuk musik enak didengar dan dengan nuansa tradisi yang dibawa, akhirnya musik ini diminati banyak orang dari berbagai kalangan di Indonesia. Tak heran kalau selanjutnya muncul banyak kelompok musik campursari di daerah-daerah seperti Solo dan daerah sekitar Yogyakarta lainya dengan menumbuhkan kekhasan dari masing-masing daerahnya. Fenomena semacam ini tampaknya kurang begitu diperhatikan oleh masyarakat Indonesia. Sebuah musik yang mampu mengusung suatu etnisitas mampu diterima oleh masyarakat luas tanpa menghapus identitas dari masyarakat pemilik musik itu sendiri. Dan di dalam musik ini, jika kita mendengarkan perasaan kita akan terbawa masuk ke dalam nuansa Jawa. Berbeda dengan ketika kita mendengarkan musik pop yang saat sekarang sedang digandrungi para remaja. Jelas, kita tidak bisa membedakan antara musik Indonesia seperti Peterpan, Hijau Daun,dsb dengan musik pop yang berkembang di luar negeri tanpa mendengar bahasa dari lirik lagunya. Karena secara musikal bentuk musik tersebut akan sama.

Namun kini kesenian campursari sudah meleset dari nilai budaya yang seharusnya, seni pertunjukan campursari yang dulu masih mengutamakan nilai-nilai adiluhung, kini telah bergeser dan mengalami pendangkalan mutu yang hanya menuruti selera pasar sehingga estetikanya terabaikan. Hal itu ditunjukan dengan tidak diutamakannya unsure keindahan suara penyanyinya, namun lebih ke unsure penampilan yang mengundang berbagai kritik dari berbagai kalangan. Harusnya menuruti selera pasar boleh-boleh saja, namun jangan pernah meninggalkan unsur utama dalam kesenian ini, seperti kostum yang digunakan dalam pertunjukan campursari yang biasanya menggunakan pakaian adat Jawa seperti Sorjan dan Kebaya.

Ada hal menarik yang selama ini luput dari perhatian public berkaitan dengan campursari, yaitu erotisme dan sensualitas yang dikemas dalam lagu “Tali Kutang”, judulnya saja sudah kelihatan jelas mengeksposisi seksualitas sebagai daya tarik yang ditawarkan bagi para penggemarnya.

Kesenian campursari sudah sejak lama mengandung daya tarik yang luar biasa, siapapun yang berhubungan intim dengannya akan terjerat oleh pesonanya, menggaulinya laksana menggerayangi sosok tubuh yang penuh misteri. Semakin mengenal seluk beluknya semakin ingin mengungkap daya pukaunya. Campursari merupakan suatu saluran ekspresi yang sangat menakjubkan bagi penggemarnya. Ketika kesenian tersebut harus berperang melawan perkembangan jaman, dan banyaknya kesenian modern yang lebih dikenal oleh para remaja. Namun kesenian campursari tetap eksis sampai saat ini, walaupun popularitasnya tidak seperti era Manthou’s. Namun popularitas musik campursari ini dapat kita lihat dari banyaknya request lagu campursari di berbagai program acara di radio atau televisi lokal walaupun sedikit remaja yang request lagu campursari.

Soal remaja jaman sekarang suka atau tidak dengan musik campursari itu harusnya remaja melihat dari sudut pandang yang positif, jangan pernah menganggap kesenian campursari sebagai suatu kesenian yang jadul, kita bisa melihat dari sudut pandang lain seperti dari segi ekonomisnya, misalkan kita dapat ikut bergabung dalam sebuah group campursari dan menjadi bagian dari orkes musik campursari tersebut, kita dapat mendapatkan uang tambahan dari menjadi wiyaga, penyanyi dalam orkes tersebut.

Kita tidak perlu memperdulikan apa pendapat orang lain tentang selera kita, karena banyak remaja yang menganggap selera penggemar campursari seleranya rendahan. Terserah itu kan selera masing-masing individu, kita tidak berhak menentukan selera orang lain, biarkan orang lain berkata apa. Kita tidak perlu malu terhadap selera kita, karena masih banyak remaja saat ini yang masih menikmati musik campursari, bahkan saya masih menemukan beberapa remaja yang masih mengoleksi album-album campursari dari beberapa kelompok campursari terkenal, seperti CSGK, Didi Kempot, Cak Dikin, dan masih banyak lagi. Bahkan saya masih menemukan beberapa remaja yang ikut andil dalam kesenian campursari, seperti menjadi wiyaga atau penyanyi campursari, dan untuk menjadi seorang wiyaga atau penyanyi campursari tersebut, kita harus paham betul terhadap pakem, cengkok dan liryk dari musik campursari tersebut. Selain itu saya juga sempat menemukan seorang anak yang berusia 9 tahun sudah mahir sekali menjadi sinden dan hafal berbagai lirik lagu campursari yang dibawakanya. Betapa cintanya anak itu terhadap kesenian yang ada di sekitarnya khususnya kesenian campursari, bahkan menurut informasi yang saya dapatkan anak itu dapat membiyayai sekolahnya sendiri berkat menjadi sinden dalam salah satu group campursari yang diikutinya.

Revolusi yang dilakukan oleh Manthou’s dan Didi Kempot seharusnya dapat menginspirasi remaja saat ini, mengingat revolusi yang dilakukan oleh Manthou’s dan Didi Kempot dengan menggabungkan Musik campursari dengan aliran musik dangdut atau keroncong dan tetap mempertahankan nilai-nilai adiluhungnya dapat menjadi sebuah daya tarik baru dalam musik campursari ini. Satu revolusi yang sangat menarik yang dilakukan oleh Didi Kempot adalah melagukan salah satu lagu pop karya Peterpan “Ada Apa Denganmu” dalam versi campursari dengan merubah bahasanya menjadi bahasa jawa sesuai dengan ciri khas campursari. Mengapa kita tidak mencoba untuk menggabungkan musik campursari dengan selera yang saat ini digandrungi oleh para remaja agar remaja dapat tertarik dengan kesenian ini. Seperti halnya Ridho Roma yang mengemas musik dangdut dari ayahnya Rhoma Irama dengan suatu aliran yang baru popdut(pop dan dangdut) hal ini terbukti Musik yang dibawakan oleh Ridho Roma dapat digandrungi oleh nerbagai kalangan.

Jika kita lihat biasanya kesenian campursari diadakan hanya pada acara-acara yang tidak banyak remaja hadir dalam acara tersebut, seperti acara hajatan, sunatan, atau acara-acara yang hanya didominasi oleh orang tua. Mengapa tidak pernah pertunjukan campursari digelar dalam acara-acara remaja, misalkan acara perpisahan sekolah, hari jadi sekolah dan sebagainya. Dapat juga memasukan kesenian campursari sebagai kegiatan eksrakurikuler di sekolah-sekolah SMP ataupun SMA sebagai ajang ekspresi remaja dalam melestarikan budaya campursari. Menumbuhka paham bahwa campursari merupakan salah satu budaya yang pantas untuk dilestarikan di kalangan remaja dan anak-anak. Hal itu bisa menumbuhkan daya tarik musik campursari di kalangan remaja, sekaligus melestarikan kesenian campursari dikalangan remaja, karena bagaimana kita bisa melestarikan kalau melihat atau mendengar musik campursari saja tidak pernah. Kita harus melakukan berbagai revolusi agar kesenian yang sangat mengandung nilai-nilai adiluhung ini tidak hilang. Kita harus melihat berbagai celah yang dapat kita pakai untuk melestarikan kesenian ini. Karena kita adalah generasi penerus yang seharusnya dapat melestarikan kesenian ini, kalau bukan kita siapa lagi? Jangan sampai setelah generasi campursari saat ini kesenian ini hilang ditelan oleh kemajuan jaman yang semakin ganas melenyapkan nilai-nilai adiluhung yang seharusnya pantas kita pertahankan.

Olehkarena itu kita sebagai kalangan remaja wajib ikut ambil bagian dalam upaya pelestarian budaya yang ada disekitar kita, khisusnya budaya campursari yang akrab kita dengar dalam keseharian kita. Kita jangan hanya menjadi seorang pelestari yang pasif yang hanya mau menerima apa adanya kesenian ini dan membiarkan kesenian ini hilang begitu saja popularitasnya.

Kita harusnya bangga mempunyai aliran musik campursari yang lain daripada yang lain dibandingkan dengan aliran musik pop, rock, reagge dan aliran musik lain yang diseluruh penjuru dunia sudah ada, kita seharusnya bangga memeiliki aliran musik campursari. Kita seharusnya tidak ingin budaya yang telah diberikan oleh nenek moyang kita hilang begitu saja ditelan oleh ganasnya modernisasi yang melanda kalangan remaja saat ini. Jangan sampai gara-gara kita tidak peduli dengan kebudayaan kita sendiri, akhirnya kebudayaan tersebut diambil oleh orang lain. Seperti kesenian reog ponorogo yang diklaim oleh Negara Malaysia. Kita seharusnya tidak ingin kesenian Campursari diklaim oleh Negara lain akibat kecerobohan kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar